Lampungpedia.com, Jakarta – (06/01) bertempat di Kopi Brug, Tebet, Jakarta Selatan, Korps HMI Wati PB HMI 2021-2023 selenggarakan Dialog Awal Tahun dengan tema Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. Dilangsungkan secara hybrid, acara ini menghadirkan beberapa narasumber, diantaranya: Raihan Ariatama (Ketua Umum PB HMI), Umiroh Fauziah (Ketua Umum Kohati PB HMI), Syamsumarlin (Direktur LKBHMI), Putu Asrinidevy (Presidium II PP KMHDI), Malona Aruan (Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan PP GMKI), Rahmanita Sari (DPP GMNI), Nopa Supensi (Sekretaris Umum PB Korpri PMII), dan Iin Inawari (Dirut Nusantara Resource).
Kekerasan seksual kini menjadi persoalan serius setelah banyak korban ramai-ramai melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwenang. Kasus kekerasan seksual ibarat gunung es, banyak yang terungkap, namun lebih banyak yang tidak terungkap. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan korban melaporkan kasusnya ke pihak berwenang. Hal ini dapat dikarenakan berbagai alasan, salah satunya adalah stigma buruk yang tercipta di ruang publik terhadap korban, serta framing yang dibentuk media saat ini dalam mengungkap kasus kekerasan seksual cenderung lebih mengeksploitasi korban.
Dalam kesempatan ini, Putu Asrinidevy selaku Presidium II PP KMHDI mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat sebesar 19% di angka 8.800 kasus. Peningkatan ini adalah dampak dari pindahnya akses pelaporan dari luring menjadi daring. Kemudahan inilah yang dimanfaatkan oleh korban untuk menuntut keadilan.
“Sangat disayangkan ketika membaca data dari Kementerian PPPA RI ternyata di tahun 2021, kasus kekerasan seksual kembali mengalami peningkatan sebesar 19%. Padahal di tahun sebelumnya terjadi penurunan sebesar 31,5% dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini merupakan indikasi dari terjadinya migrasi pelaporan, yang mulanya luring kini berpindah ke daring. Tentu hal ini menjadi momentum yang tepat untuk korban melaporkan kasusnya dengan rasa yang lebih aman,” ungkap Devy dalam pemaparannya.
Devy juga menyampaikan bahwa hari ini media memiliki peran penting dalam menggiring opini masyarakat. Media kini menjadi alat yang tepat untuk terus menyuarakan isu kekerasan seksual agar segera bertemu dengan hasil yang diharapkan, yakni munculnya regulasi yang benar-benar mengatur tentang kekerasan seksual dari hulu ke hilir secara tuntas.
“Media massa selalu menerapkan teori agenda setting dalam pemberitaannya, dengan tahapannya, yakni: agenda media, agenda publik, dan agenda kebijakan. Jika berangkat dari teori tersebut, maka media akan lebih efektif untuk menyebarkan informasi dan memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk ‘ngeh’ dengan satu isu. Jadi, media hari ini harus menjadi wadah yang dapat membangun kesadaran kolektif. Ketika kesadaran sudah muncul, maka pengawalan isu-isu krusial akan lebih mudah, termasuk hari ini untuk menyuarakan ‘Indonesia Darurat Kekerasan Seksual’.” pungkas Devy dalam penjelasannya.
Dalam kesempatan tersebut, Devy selaku Presidium II PP KMHDI juga memberi apresiasi kepada pemerintah atas usaha-usahanya dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual yang marak terjadi belakangan ini. Lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permen Ristek RI) No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi angin segar bagi pihak-pihak yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tidak berhenti di sana, angin segar pun dihembuskan langsung oleh Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo yang mendorong segera disahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS.
“KMHDI memang sejak lama fokus dengan isu ini, mengingat kasus-kasus ini selalu menghantui setiap orang tanpa mengenal gender. Kami juga mengapresiasi pemerintah yang telah melahirkan Permen Ristek No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah diundangkan pada 3 September 2021. Kami pun menilai langkah yang diambil Presiden Joko Widodo telah tepat dengan mengintruksikan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dan konsultasi dengan DPR,” ungkap Devy selaku Presidium II PP KMHDI.
“Meski banyak angin segar sudah ditiupkan pemerintah, saya mengajak teman-teman yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Plus maupun kelompok lain untuk terus mengawal dan mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU TPKS menjadi Undang-Undang. Selama RUU TPKS belum diundangkan, maka kekerasan seksual baik secara verbal maupun non verbal akan terus membayangi kita kapan dan dimana saja. Oleh karenanya, pengesahan RUU TPKS adalah bentuk konkret dari komitmen pemerintah atas keberpihakan mereka terhadap masyarakat,” tutup Devy. (Rls/Red)